FORUM PAJAK

Menyajikan berbagai informasi seputar perpajakan Indonesia dan update peraturan

More About Me

Tempat berbagi informasi perpajakan

CATATAN

Semua pendapat dan informasi yang disampaikan di dalam blog ini merupakan pendapat pribadi dan tidak berhubungan dengan instansi tempat saya bekerja

Surat Pemberitahuan (SPT)

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Terdapat dua macam SPT yaitu:
a.SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
b.SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

Pengisian & Penyampaian SPT
- Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan.
- Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.

Fungsi SPT
a. Wajib Pajak PPh
Sebagai sarana WP untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
- pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
- penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;
- harta dan kewajiban;
- pemotongan/ pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak.

b. Pengusaha Kena Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
- pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
- pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP dan atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

c. Pemotong/ Pemungut Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan.

Tempat pengambilan SPT
Setiap WP harus mengambil sendiri formulir SPT di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), Kantor Wilayah DJP, Kantor Pusat DJP, atau melalui website DJP : http://www.pajak.go.id atau mencetak/ menggandakan/ fotokopi dengan bentuk dan isi yang sama dengan aslinya.

Ketentuan Tentang Pengisian SPT
SPT wajib diisi secara benar, lengkap, jelas dan harus ditandatangani. Dalam hal SPT diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan oleh WP, harus dilampiri surat kuasa khusus. Untuk Wajib Pajak Badan, SPT harus ditandatangani oleh pengurus/direksi.

Ketentuan Tentang Penyampaian SPT
1.SPT dapat disampaikan secara langsung atau melalui Pos secara tercatat ke KPP, KP4 atau KP2KP setempat, atau melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
2.Batas waktu penyampaian:
a.Penyampaian SPT Tahunan PPh Badan paling lambat 4 bulan sejak akhir Tahun Pajak.
b.Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) SPT Masa.
c.SPT Masa, paling lambat dua puluh hari setelah akhir Masa Pajak.
d.SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, paling lambat tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak.
3.SPT yang disampaikan langsung ke KPP/KP4 diberikan bukti penerimaan. Dalam hal SPT disampaikan melalui pos secara tercatat, bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai bukti penerimaan.

Penyampaian SPT melalui Elektronik (e-SPT)
Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT secara elektronik (e-Filling) melalui perusahaan Penyedia jasa aplikasi (Application Service Provider) yang ditunjuk oleh DJP. Wajib Pajak yang telah menyampaikan SPT secara e-Filling, wajib menyampaikan induk SPT yang memuat tanda tangan basah dan Surat Setoran Pajak (bila ada) serta bukti penerimaan secara elektronik ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar melalui Kantor Pos secara tercatat atau disampaikan langsung, paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal penyampaian SPT secara elektronik. Penyampaian SPT secara elektronik dapat dilakukan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu. SPT yang disampaikan secara elektronik pada akhir batas waktu penyampaian SPT yang jatuh pada hari libur, dianggap disampaikan tepat waktu.

Perpanjangan Waktu Penyampaian SPT Tahunan
Apabila WP tidak dapat menyelesaikan/ menyiapkan laporan keuangan tahunan untuk memenuhi batas waktu penyelesaian, WP berhak mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis disertai surat pernyataan mengenai penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) tahun pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang atau dengan cara lain yang ketentuan diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan.
Sanksi Tidak Atau Terlambat Menyampaikan SPT
SPT yang tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda :
1. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Rp 100 ribu;
2. SPT Tahunan PPh Badan Rp 1 juta;
3. SPT Masa PPN Rp 500 ribu;
4. SPT Masa Lainnya Rp 100 ribu.

Pembetulan SPT
untuk pembetulan SPT atas kemauan WP sensiri dapat dilakukan sampai dengan daluwarsa, kecuali untuk SPT Rugi atau SPT Lebih Bayar paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan. Sanksi administrasi atas pembetulan SPT dengan kemauan Wajib Pajak sendiri setelah Pemeriksaan tetapi belum dilakukan penyidikan 150% dari pajak yang kurang dibayar.

Batas Waktu Pembayaran Pajak

- Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atas Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir.
- Batas waktu pembayaran untuk kekurangan pembayaran pajak berdasarkan SPT Tahunan paling lambat sebelum SPT disampaikan.
- Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu paling lama 2 bulan.

Sanksi Keterlambatan Pembayaran Pajak
Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan sanksi denda administrasi bunga 2% (dua persen) sebulan dari pajak terutang dihitung dari jatuh tempo pembayaran. Wajib Pajak yang alpa tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara yang dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang dibayar.

Sumber: www.pajak.go.id

Klik untuk melihat lengkap artikel...

Surat Ketetapan Pajak (SKP)

Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (skp) hanya terbatas kepada WP tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh WP.

Fungsi Surat Ketetapan Pajak
Surat ketetapan pajak berfungsi sebagai :
a.Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
b.Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
c.Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
d.Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar
e.Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.

Jenis-Jenis Ketetapan Pajak
a.Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.

b.Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan sebelumnya.

c.Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.

d.Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

e. Surat Tagihan Pajak (STP) Adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan dalam hal :
- Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
- Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah tulis dan
atau salah hitung;
- WP dikenakan sanksi administrasi denda dan/atau bunga;
- Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang PPN, tetapi tidak
melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur
Pajak,

Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.
Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak dikeani sanksi.
Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak masukan diwajibkan membayar kembali.

Daluwarsa Penetapan Pajak
Daluwarsa penetapan pajak ditentukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak akhir Masa Pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.


Pembetulan Ketetapan Pajak
Apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak, dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak


Kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang dapat dibetulkan
Ruang lingkup pembetulan ketetapan pajak, terbatas pada
kesalahan atau kekeliruan dari :
a.Kesalahan tulis antara lain : kesalahan yang dapat berupa penulisan nama, alamat, NPWP, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa atau Tahun Pajak dan tanggal jatuh tempo;
b.Kesalahan hitung, yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian dan atau pembagian suatu bilangan;
c.Kekeliruan dalam penerapan tarif, penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, penerapan sanksi administrasi, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), penghitungan PPh dalam tahun berjalan, dan pengkreditan pajak.

Ketetapan pajak yang dapat dibetulkan
Ketetapan pajak yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan, antara lain:
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
- Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
- Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
- Surat Tagihan Pajak (STP);
- Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
- Surat Keputusan Keberatan
- Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi;
- Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar.


Jangka waktu penyelesaian permohonan Wajib Pajak
Jangka waktu penyelesaian permohonan pembetulan Wajib Pajak harus diselesaikan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka permohonan pembetulan yang diajukan dianggap dikabulkan.


Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
1.Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan atau bukan karena kesalahan WP.
2.Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi harus memenuhi ketentuan:
a.Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan yang jelas dan meyakinkan;
b.Disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak yang mengenakan sanksi administrasi tersebut;
c.Tidak melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya STP, SKPKB atau SKPKBT, kecuali apabila WP dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya;
d.Tidak mengajukan keberatan atas ketetapan pajaknya dan diajukan atas suatu STP; suatu SKPKB atau suatu SKPKBT.
3.Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan maka permohonan dianggap diterima.

Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar
1.Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar;
2.Permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar harus memenuhi ketentuan:
a.Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia untuk suatu surat ketetapan pajak;
b.Menyebutkan jumlah pajak yang menurut penghitungan WP seharusnya terhutang.
3.Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan maka permohonan dianggap diterima.

Permintaan penjelasan/pemberian keterangan tambahan
a. Untuk keperluan pengajuan permohonan , WP dapat meminta penjelasan/keterangan tambahan, dan Kepala KPP wajib menjawabnya secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan.
Catatan :
WP harus tetap memperhatikan jangka waktu pengajuan permohonan di atas.

b. WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat keputusan atas permohonan diterbitkan.
Lain-lain
Perlu diperhatikan bahwa pengajuan permohonan tidak menunda kewajiban membayar pajak.

Pembetulan Ketetapan Pajak
Apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak, dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak

Kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang dapat dibetulkan
Ruang lingkup pembetulan ketetapan pajak, terbatas pada kesalahan atau kekeliruan dari :
a.Kesalahan tulis antara lain : kesalahan yang dapat berupa penulisan nama, alamat, NPWP, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa atau Tahun Pajak dan tanggal jatuh tempo;
b.Kesalahan hitung, yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian dan atau pembagian suatu bilangan;
c.Kekeliruan dalam penerapan tarif, penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, penerapan sanksi administrasi, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), penghitungan PPh dalam tahun berjalan, dan pengkreditan pajak.

Jangka waktu penyelesaian permohonan Wajib Pajak
Jangka waktu penyelesaian permohonan pembetulan Wajib Pajak harus diselesaikan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.Apabila jangka waktu tersebut telah lewat Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka permohonan pembetulan yang diajukan dianggap dikabulkan.

Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
1.Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan atau bukan karena kesalahan WP.
2.Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi harus memenuhi ketentuan:
a.Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan yang jelas dan meyakinkan;
b.Disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak yang mengenakan sanksi administrasi tersebut;
c.Tidak melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya STP, SKPKB atau SKPKBT, kecuali apabila WP dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya;
d.Tidak mengajukan keberatan atas ketetapan pajaknya dan diajukan atas suatu STP; suatu SKPKB atau suatu SKPKBT.
3. Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan maka permohonan dianggap diterima.

Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar
1. Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar;
2. Permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar harus memenuhi ketentuan:
a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia untuk suatu surat ketetapan pajak;
b. Menyebutkan jumlah pajak yang menurut penghitungan WP seharusnya terhutang.
3. Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan maka permohonan dianggap diterima.


Sumber: www.pajak.go.id

Klik untuk melihat lengkap artikel...

TARIF PAJAK

Wajib Pajak Orang Pribadi

Penghasilan

Penghasilan
0 s/d Rp 25.000.000 ----------------> 5%
Rp 25.000.000 s/d Rp 50.000.000-----> 10%
Rp 50.000.000 s/d Rp 100.000.000----> 15%
Rp 100.000.000 s/d Rp 200.000.000---> 25%
> Rp 200.000.000--------------------> 35%

Wajib Pajak Badan
Penghasilan
0 s/d Rp 50.000.000----------------> 10%
Rp 50.000.000 s/d Rp 100.000.000---> 15%
> 100.000.000----------------------> 30%

Tarif Pajak yang dikenakan atas objek pajak (PBB) adalah 0,5%
Tarif Pajak yang dikenakan atas BPHTB adalah 5%
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah = 10%
- Dengan PP menjadi paling rendah = 5%
- Dengan PP menjadi paling tinggi = 15%
- Atas ekspor barang kena pajak = 0%

Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah
-Paling rendah = 10%
- Paling tinggi = 75%
- Atas ekspor barang kena pajak = 0%

Klik untuk melihat lengkap artikel...

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Berdasarkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 137/PMK.03/2005 besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak disesuaikan menjadi sebagai berikut :

- Rp13.200.000,00 (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi;

- Rp.1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

- Rp13.200.000,00 (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;

- Rp.1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Klik untuk melihat lengkap artikel...

Peninjauan Kembali

Peninjauan Kembali
Apabila pihak yang bersangkutan tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.


Alasan-alasan Peninjauan Kembali
1. Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat;
2. Terdapat bukti tertulis baru penting dan bersifat menentukan;
3. Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5. Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


Jangka Waktu Peninjauan Kembali
1.Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau ditemukan bukti tertulis baru;
2. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, 4, dan 5 diajukanpaling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim oleh Pengadilan Pajak.

Sumber: http://www.pajak.go.id

Klik untuk melihat lengkap artikel...

Pemeriksaan

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Tujuan Pemeriksaan
1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
a. SPT lebih bayar
b. SPT rugi.
c. SPT tidak atau terlambat disampaikan.
d. SPT memenuhi kriteria yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak untuk diperiksa.
e. Adanya indikasi tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban selain kewajiban pada huruf b.

2.Tujuan lain, yaitu:
a. Pemberian NPWP (secara jabatan)
b. Penghapusan NPWP.
c. Pengukuhan PKP secara jabatan dan pengukuhan atau pencabutan Pengukuhan PKP
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan atau banding .
e. Pengumpulan bahan untuk penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
f. Pencocokan data dan atau alat keterangan.
g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di tempat terpencil
h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN
i. Tujuan lain selain a s/d g.

Hak Wajib Pajak Apabila Dilakukan Pemeriksaan
1.Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa
2.Meminta tindasan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak
3.Menolak untuk diperiksa apabila Pemeriksa tidak dapat menunjukan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan
4.Meminta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan
5.Meminta tanda bukti peminjaman buku-buku, catatancatatan, serta dokumen-dokumen yang dipinjam oleh Pemeriksa Pajak
6.Meminta rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) mengenai koreksi-koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak terhadap SPT yang telah disampaikan
7.Mengajukan pengaduan apabila kerahasiaan usaha dibocorkan kepada pihak lain yang tidak berhak Memperoleh lembar Asli Berita Acara Penyegelan apabila Pemeriksa Pajak melakukan penyegelan atas tempat atau ruangan tertentu.


Kewajiban Wajib Pajak Apabila Dilakukan Pemeriksaan
1.Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP atau objek yang terutang pajak.
2.Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu oleh pemeriksa dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
3.Memberi keterangan yang diperlukan

Hal Lainnya Yang Perlu Diketahui
1.Pemeriksaan Pajak dapat dilakukan oleh seorang Pemeriksa atau Kelompok Pemeriksa.
2.Pemeriksaan dapat dilaksanakan di Kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan.
3.Apabila WP tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa pajak untuk memasuki tempat atau ruangan tertentu dan menolak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan, maka pemeriksa pajak berwenang melakukan penyegelan.

Sumber: http://www.pajak.go.id/

Klik untuk melihat lengkap artikel...

Penegasan Mengenai Pajak Penghasilan Pasal 23 atas Jasa yang Diterima dari Agency Periklanan

Ada Wajib Pajak yang mengajukan pertanyaan dengan permasalahan sebagai berikut:
1. Wajib Pajak dalam mengiklankan produknya di media TV dan radio menunjuk agency periklanan untuk melakukan pemesanan waktu penayangan iklan WP serta menalangi pembayaran ke perusahaan TV dan radio. Agency periklanan telah melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 1,5% kepada perusahaan TV/ radio dan membayar serta melaporkan pemotongan tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak tempat agency periklanan tersebut terdaftar.

2. Agency periklanan kemudian menagih kepada perusahaan Saudara sebesar biaya penayangan di luar PPN lalu ditambah biaya supervisi agency periklanan yang disertai dengan dokumen pendukung tagihan dari perusahaan TV dan radio. Selanjutnya agency periklanan menagih PPN dengan cara menerbitkan faktur pajak atas tagihan tersebut.

3. Wajib Pajak menanyakan apakah ia harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas biaya reimbursment penayangan iklan dan juga atas biaya supervisi agency periklanan tersebut serta apakah perusahaan Saudara harus meminta bukti pemotongan PPh Pasal 23 sehubungan dengan pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan agency periklanan kepada perusahaan TV/ radio.

Penegasan berdasarkan ketentuan yang berlaku
- Pasal 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ./2007 tanggal 9 April 2007 tentang Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 mengatur:
(1) Atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayar.
(2)Imbalan jasa yang atas pembayarannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultansi dan jasa-jasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, kecuali jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

- Sesuai dengan Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ./2007 atas jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi terutang PPh Pasal 23. Besarnya perkiraan penghasilan neto atas jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi adalah 10% dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN.

- Berdasarkan penjelasan di atas maka pembayaran kepada perusahaan TV dan radio sehubungan dengan penayangan iklan produk Wajib Pajak merupakan jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi sehingga terutang PPh Pasal 23 sebesar 15% x 10% atau 1,5% dari imbalan jasa tidak termasuk PPN. Kewajiban pemotongan dan pelaporan atas PPh Pasal 23 tersebut dilakukan oleh agency periklanan atas pembayaran yang dilakukan kepada perusahaan TV dan radio. Reimbursment atas pembayaran yang telah dilakukan oleh agency periklanan kepada perusahaan TV dan radio yang ditagih kepada perusahaan Saudara tidak terutang PPh Pasal 23 lagi. Wajib Pajak dapat meminta satu lembar bukti pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan oleh agency periklanan kepada perusahaan TV dan radio sebagai bukti bahwa atas jasa tersebut telah dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.

- Jasa supervisi agency periklanan bukan merupakan objek PPh Pasal 23 sehingga atas pembayaran biaya supervisi agency periklanan tersebut tidak dipotong PPh Pasal 23.

Klik untuk melihat lengkap artikel...

KEP - 105/PJ/2008 - PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK BARU BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DENGAN PENGGUNA GANDA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 105/PJ/2008

TENTANG

PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK BARU BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DENGAN PENGGUNA GANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa sehubungan adanya Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimiliki oleh lebih dari satu Wajib Pajak perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Baru bagi Wajib Pajak yang Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan Pengguna Ganda;

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 26/PJ/2008 tentang Tata Cara Penanganan Wajib Pajak yang Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan Pengguna Ganda;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK BARU BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DENGAN PENGGUNA GANDA.

PERTAMA :

Wajib Pajak sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini ditetapkan sebagai Wajib Pajak yang diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak Baru, Surat Keterangan terdaftar Baru dan/atau Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Baru.


KEDUA:
Wajib Pajak yang diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak Baru, Surat Keterangan Terdaftar Baru dan/atau Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Baru sebagaimana dimaksud pada Diktum Pertama, termasuk Wajib Pajak dengan status cabang/isteri.



KETIGA :
Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Salinan Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini disampaikan kepada :
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
2. Para Direktur/Tenaga Pengkaji/Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
3. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
Untuk diketahui dan digunakan sebagaimana mestinya.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Juni 2008
DIREKTUR JENDERAL PAJAK


ttd.
DARMIN NASUTION
NIP 130605098

Klik untuk melihat lengkap artikel...

Banding

Apabila Wajib Pajak tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak, dengan syarat:

a.Tertulis dalam bahasa Indonesia;
b.Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima;
c.Mengemukakan alasan yang jelas;
d.Dilampiri salinan Surat Keputusan atas keberatan;
e.Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding;
f.Jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%.

Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Putusan Pengadilan Pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.

Imbalan Bunga
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.

Sumber: http://www.pajak.go.id

Klik untuk melihat lengkap artikel...

Keberatan

Keberatan merupakan suatu cara yang dilakukan oleh Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak apabila merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga
Hal-hal yang Dapat Diajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.

Ketentuan Pengajuan Keberatan
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat WP terdaftar, dengan syarat:
a.Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
b.Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan WP dan disertai alasan-alasan yang jelas.
c.Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun/masa pajak. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses.
d.Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang harus dibayar paling sedikit sejumlah yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.

Jangka Waktu Pengajuan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan apabila dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

PENYELESAIAN KEBERATAN
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas ) telah lewat dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima Keputusan keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak terhutang.

Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
a.Untuk keperluan pengajuan keberatan WP dapat meminta penjelasan/ keterangan tambahan dan Kepala KPP wajib memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan.
b.WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat keputusan keberatannya diterbitkan.

Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada Penanggung Pajak terhadap:
1.Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
2.Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP;
3.Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP yang berkaitan dengan STP;
4. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan STP;

Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
1.Gugatan terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
2.Gugatan terhadap angka 2, 3, dan 4 diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.

Klik untuk melihat lengkap artikel...

Peraturan Dirjen Pajak - 27/PJ/2008, 19 Juni 2008

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR 27/PJ/2008

TENTANG

TATA CARA PENYAMPAIAN, PENGADMINISTRASIAN, SERTA PENGHAPUSAN SANKSI
ADMINISTRASI SEHUBUNGAN DENGAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN
TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI UNTUK TAHUN PAJAK
2007 DAN SEBELUMNYA, DAN SEHUBUNGAN DENGAN PEMBETULAN SURAT
PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI ATAU
WAJIB PAJAK BADAN UNTUK TAHUN PAJAK SEBELUM TAHUN PAJAK 2007

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,



Menimbang :


bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Persyaratan Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Penghapusan Sanksi Administrasi Dalam Rangka Penerapan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penyampaian, Pengadministrasian, serta Penghapusan Sanksi Administrasi Sehubungan Dengan Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Untuk Tahun Pajak 2007 dan Sebelumnya, dan Sehubungan Dengan Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan Untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Persyaratan Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Penghapusan Sanksi Administrasi Dalam Rangka Penerapan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN, PENGADMINISTRASIAN, SERTA PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI SEHUBUNGAN DENGAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI UNTUK TAHUN PAJAK 2007 DAN SEBELUMNYA, DAN SEHUBUNGAN DENGAN PEMBETULAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI ATAU WAJIB PAJAK BADAN UNTUK TAHUN PAJAK SEBELUM TAHUN PAJAK 2007.



Pasal 1

(1) Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Wajib Pajak yang sebelum tanggal 1 Januari 2008 telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan :

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebelum Tahun Pajak 2007; atau
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan sebelum Tahun Pajak 2007.
yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak

(3) Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan pertama kali dalam tahun 2008.

Pasal 2
(1) Wajib Pajak yang sebelum tanggal 1 Januari 2008 telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan sampai dengan 31 Desember 2008 belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007.
(2) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan dalam tahun 2008 diperlakukan sebagai pembetulan Surat Pemberitahun Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007 sebagaimana dimaksud dengan Pasal 1 ayat (2).



Pasal 3

Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan diberikan penghapusan sanksi administrasi adalah Wajib Pajak orang pribadi yang :

secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008;
tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya terhitung sejak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif paling lambat tanggal 31 Maret 2009; dan
melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud pada huruf c, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi disampaikan.



Pasal 4

(1) Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun Pajak yang bersangkutan dan menuliskan "SPT berdasarkan Pasal 37A UU KUP" di bagian atas tengah SPT Induk dan setiap Lampirannya.
(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilunasi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut disampaikan.
(3) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan Surat Setoran Pajak Lembar 3 atas pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Pasal 5

(1) Wajib Pajak yang membetulkan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dan diberikan penghapusan sanksi administrasi adalah Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak badan yang memenuhi persyaratan :

telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum tanggal 1 Januari 2008;
terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan belum diterbitkan surat ketetapan pajak;
terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan belum dilakukan pemeriksaan atau dalam hal sedang dilakukan pemeriksaan, Pemeriksaan Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
telah dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, tetapi Pemeriksaan bukti Permulaan tersebut tidak dilanjutkan dengan tindakan penyidikan karena tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan tentang tindak pidana di bidang perpajakan;
tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
menyampaikan pembetulan Surat pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2006 sebelumnya paling lambat tanggal 31 Desember 2008; dan
melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf f, sebelum pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan menyatakan lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dianggap sebagai pencabutan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan.

Pasal 6

(1) Dalam hal pemeriksaan yang sedang dilaksanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c juga mencakup pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan jenis pajak lainnya, dan Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, pemeriksaan terhadap seluruh jenis pajak dihentikan, kecuali pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan lebih bayar atau pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan jenis pajak lainnya yang berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak tetap dilanjutkan.
(2) Dalam hal tidak terdapat :

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan lebih bayar; atau
pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan jenis pajak lainnya yang berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak tetap dilanjutkan.
penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk seluruh jenis pajak dengan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
(3) Dalam hal terdapat :

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak penghasilan Pasal 21 dan/atau Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan lebih bayar; atau
pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan jenis pajak lainnya yang berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak tetap dilanjutkan,
penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan untuk pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang tidak menyatakan lebih bayar atau pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahun jenis pajak lainnya yang berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak tidak dilanjutkan dengan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.

Pasal 7

Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang tidak sedang dilakukan pemeriksaan namun atas Surat Pemberitahuan jenis pajak lainnya untuk periode yang sama sedang dilakukan pemeriksaan, pemeriksaan tersebut dihentikan dan diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak, kecuali untuk :

pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan jenis pajak lainnya yang menyatakan lebih bayar; atau
pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan jenis pajak lainnya yang berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak tetap dilanjutkan.

Pasal 8

(1) Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dilaksanakan dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak yang bersangkutan dan menuliskan "Pembetulan berdasarkan Pasal 37A UU KUP" atau "SPT berdasarkan Pasal 37A UU KUP" dibagian atas tengah SPT Induk dan setiap Lampirannya.
(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang sebagai akibat dari pembetulan Surat pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilunasi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebelum pembetulan Surat pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut disampaikan.
(3) Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan Surat Setoran Pajak Lembar 3 atas pelunasan pembayaran pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
(4)Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Pasal 9

(1) Data dan/atau informasi yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak lainnya.
(2) Data dan/atau informasi yang tercantum dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atau pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak lainnya.

Pasal 10

Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan tanpa menerbitkan Surat Tagihan Pajak.

Pasal 11

(1) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang pribadi untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaiman dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) yang disampaikan setelah tanggal 31 Desember 2007 sampai dengan tanggal ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dapat diperlakukan sebagai Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dalam rangka Pasal 37A Undang-undang KUP.
(2) Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2006 dan sebelumnya sebagaiman dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang disampaikan setelah tanggal 31 Desember 2007 sampai dengan tanggal ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dapat diperlakukan sebagai Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dalam rangka Pasal 37A Undang-undang KUP.

Pasal 12

(1) Wajib Pajak yang memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak secara sukarela dalam tahun 2008 dan telah menyampaikan Surat pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya setelah tanggal 31 Desember 2007 sampai dengan tanggal ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dapat menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya dalam rangka Pasal 37A Undang-Undang KUP satu kali setelah tanggal ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2008.
(2) Wajib Pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum tanggal 1 Januari 2008 dan telah menyampaikan Surat pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007 setelah tanggal 31 Desember 2007 sampai dengan tanggal ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dapat menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007 dalam rangka Pasal 37A Undang-Undang KUP satu kali setelah tanggal ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2008.

Pasal 13

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2008.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Juni 208
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098    

Klik untuk melihat lengkap artikel...

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

New Page 8

TANYA JAWAB SEPUTAR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN,

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

 

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

 

A. SUBJEK PAJAK

 

1    Siapa Subjek PBB ?

Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek PBB yang dikenakan kewajiban membayar PBB berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku menjadi Wajib Pajak.

·         Dalam hal objek PBB belum jelas diketahui Wajib Pajaknya, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan Wajib Pajak.

·         Apabila Wajib Pajak dimaksud memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak atas objek pajak dimaksud, maka :

ü       Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud apabila keterangan dimaksud disetujui;

ü       Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya apabila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui;

ü       Apabila setelah jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap diterima.

·      Tanda pembayaran/pelunasan PBB bukan merupakan bukti pemilikan hak.

 

B. OBJEK PAJAK                                                            

1         Apa yang menjadi Objek PBB ?

Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan.

·            Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya;

·            Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

-   jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;

-   jalan TOL;

-   kolam renang;

-   pagar mewah;

-   tempat olah raga;

-   galangan kapal, dermaga;

-   taman mewah;

-   tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;

-   fasilitas lain yang memberikan manfaat.

 

 

 

2   Objek pajak apa saja yang tidak dikenakan PBB ?

·         Objek Pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;

·         Objek Pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;

·         Objek Pajak merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;

·         Objek Pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

·         Objek Pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek PBB semata-mata hanya digunakan untuk pelayanan umum dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

 

3   Bagaimana perlakuan atas Objek PBB yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan ?

 

Objek PBB yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

C. TARIF PAJAK

 

1   Berapa besarnya tarif PBB ?

Tarif PBB adalah tunggal sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen).

 

D.   DASAR PENGENAAN DAN CARA MENGHITUNG PBB (250304 )

 

1    Apa yang boleh dikurangkan dalam penghitungan PBB ?

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). NJOPTKP diberikan kepada setiap Wajib Pajak sebagai pengurang penghitungan PBB terutang.

 

2    Berapa besarnya NJOPTKP ?

NJOPTKP ditetapkan secara regional (setiap kabupaten/kota) paling banyak sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak oleh Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Pemda setempat.

 

3    Bagaimana perlakuan pemberian NJOPTKP kepada Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu Objek PBB ?

NJOPTKP diberikan hanya sekali untuk Objek PBB yang nilainya paling tinggi untuk satu tahun pajak.

 

4    Apakah dasar pengenaan PBB ?

Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (sales value = NJOP), yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.

NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.

Yang dimaksud dengan :

·         Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;

·         Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut;

·         Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.

 

5    Bagaimana cara untuk memudahkan penghitungan PBB terutang ?

Cara untuk memudahkan penghitungan PBB terutang adalah dengan membuat klasifikasi bumi dan bangunan, yaitu pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya. Klasifikasi dimaksud sekaligus sebagai pedoman penentuan NJOP.

Faktor-faktor yang diperhatikan dalam dalam penentuan klasifikasi bumi adalah :

1.   letak;

2.   peruntukan;

3.   pemanfaatan;

4.   kondisi lingkungan dan lain-lain.

Faktor-faktor yang diperhatikan dalam dalam penentuan klasifikasi bangunan adalah :

1.   bahan yang digunakan;

2.   rekayasa;

3.   letak;

4.   kondisi lingkungan dan lain-lain.

 

6    Apakah dasar penghitungan PBB ?

Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (assessment value = NJKP) yaitu suatu persentase tertentu dari NJOP yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan PBB. NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari NJOP.

Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2002:

·         Objek PBB perkebunan, perhutanan, dan pertambangan sebesar 40 % dari NJOP ;

·         Objek PBB lainnya :

1)      sebesar 40 % dari NJOP apabila NJOP bernilai Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah ) atau lebih;

2)      sebesar 20 % dari NJOP apabila NJOP bernilai kurang dari Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah ).

 

7.    Bagaimana cara menghitung PBB terutang ?

Penghitungan PBB adalah sebagai berikut :

-             NJOP sebagai dasar pengenaan PBB = Jumlah NJOP bumi dan bangunan

-             NJOP untuk penghitungan PBB = NJOP sebagai dasar pengenaan PBB dikurangi dengan NJOPTKP

-             NJKP = (20% atau 40%)* x NJOP untuk penghitungan PBB

-             PBB yang terutang = 0,5% x NJKP

NJOP bumi = luas bumi x NJOP bumi per m2

NJOP bangunan = luas bangunan x NJOP bangunan per m2

*) Besarnya ditentukan berdasarkan jumlah NJOP bumi dan  

    bangunan dan sektor.

 

E.   TAHUN PAJAK, SAAT, DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PBB TERUTANG (250304 )

 

1.   Kapan saat PBB terutang?

      Saat PBB terutang adalah keadaan objek PBB pada tanggal 1 Januari untuk suatu tahun pajak tertentu (jangka waktu satu tahun takwim)

 

2.   Dimana tempat PBB terutang?

Tempat PBB terutang adalah :

a.  untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, yang meliputi letak objek PBB;

b.  untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten/Kota, yang meliputi letak objek PBB.

 

F.   PENDAFTARAN, SURAT PEMBERITAHUAN OBJEK PAJAK (SPOP), SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG (SPPT), DAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP) (250304 )

 

1.   Apa kewajiban subjek PBB dalam rangka pendaftaran  Objek PBB ?

      Mendaftarkan objek PBB-nya dengan mengisi SPOP secara jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan ke KPPBB/KP4/tempat lain yang ditunjuk yang wilayah kerjanya meliputi letak objek PBB, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek PBB.

Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran objek pajak sebagaimana diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

SPOP adalah sarana bagi Wajib Pajak untuk mendaftarkan Objek PBB yang akan dipakai sebagai dasar untuk menghitung PBB yang terutang.                     

Yang dimaksud dengan jelas, benar, dan lengkap adalah :

·         Jelas, berarti penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri;

·         Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;

·         Lengkap berarti seluruh bagian yang harus diisi oleh Wajib Pajak terisi semua dan ditandatangani.

     

2.   Apa sanksi yang dapat dikenakan apabila Wajib Pajak tidak mengembalikan SPOP atau mengisi SPOP secara jelas, benar, dan lengkap ?

a.       Sanksi Administrasi

-          Dalam hal WP tidak menyampaikan kembali SPOP pada waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran, maka akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari PBB yang terutang.

-          Apabila pengisian SPOP setelah diteliti atau diperiksa ternyata tidak benar (lebih kecil), maka akan diterbitkan SKP dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari selisih besarnya PBB yang terutang.

b.       Sanksi Pidana

-          Barang siapa karena kealpaannya tidak mengembalikan SPOP atau mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/ atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga menimbulkan kerugian bagi negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terutang;

-          Barang siapa karena dengan sengaja :

1).    Tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak;

2).    Menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar;

3).    Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;

4).    Tidak memperlihatkan data atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;

5).    Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;

sehingga menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang. Sanksi pidana tersebut dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.

 

3.   Apakah yang dimaksud dengan SPPT ?

SPPT adalah Surat Keputusan Kepala KPPBB mengenai besarnya PBB terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak pada 1 (satu) tahun pajak tertentu. SPPT diterbitkan berdasarkan data sebagaimana tertulis pada SPOP.

 

4.   Apa hak Wajib Pajak atas SPPT ?

  • Menerima SPPT PBB setiap tahun pajak.
  • Mendapatkan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan dengan ketetapan PBB.
  • Mengajukan keberatan dan atau pengurangan.
  • Mendapatkan Surat Tanda Terima Setoran (STTS) atau Bukti Pelunasan Pembayaran PBB dari Tempat Pembayaran (TP yaitu Bank/Kantor Pos yang tercantum pada SPPT atau ATM) atau Tanda Terima Sementara (TTS) dari petugas pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi dengan SK Walikota/Bupati.

 

5.   Apa kewajiban Wajib Pajak atas SPPT ?

  • Menandatangani bukti tanda terima SPPT dan menyampaikannya kembali kepada Lurah/Kepala Desa/Dinas Pendapatan Daerah/KP4 untuk diteruskan ke KPPBB yang menerbitkan SPPT atau menyampaikannya ke KPPBB.
  • Membayar/melunasi PBB terutang pada tempat yang telah ditentukan.

 

 

 

6.   Apakah yang dimaksud dengan SKP PBB?

SKP PBB adalah Surat Keputusan Kepala KPPBB yang memberitahukan besarnya PBB yang terutang termasuk denda administrasi kepada Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.

 

7.   Apa yang menyebabkan SKP PBB diterbitkan ?

SKP diterbitkan apabila :

  • Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) tidak disampaikan kembali dalam jangka waktu 30 hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.
  • Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain yang ada ternyata jumlah PBB yang terutang lebih besar dari jumlah PBB yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh WP.

 

8.   Berapakah besarnya PBB terutang dalam SKP PBB?

  • Jumlah PBB yang terutang dalam SKP yang disebabkan oleh pengembalian SPOP lewat 30 hari setelah diterima WP adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.
  • Jumlah PBB yang terutang dalam SKP yang disebabkan oleh hasill pemeriksaan atau keterangan lainnya, dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi 25% dari selisih PBB yang terutang.

 

G.   TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN (250304 )

 

1.   Kapan batas waktu pelunasan utang PBB ?

·         Berdasarkan SPPT yang diterima, Wajib Pajak harus melunasi utang PBB-nya selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT.

·         Berdasarkan SKP yang diterima, Wajib Pajak harus melunasi utang PBB-nya selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP.

 

2.   Berapa denda yang dikenakan kepada Wajib Pajak yang belum melunasi utang PBB-nya setelah lewat jatuh tempo ?

PBB terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

 

3.   Bagaimana cara membayar PBB ?

      Wajib pajak membayar PBB terutang melalui :

-          Bank atau Kantor Pos yang tercantum pada SPPT atau

-          ATM bank-bank tertentu (BCA, BII) atau

-          Counter/teller bank-bank tertentu (Bank Nusantara Parahyangan) atau

-          Petugas pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi dengan SK Walikota/Bupati.

Catatan : Pembayaran harus dilakukan sekaligus (tidak diperkenankan mencicil).

 

4.   Apakah dasar penagihan PBB ?

   Dasar penagihan PBB adalah SPPT, SKP, dan Surat Tagihan Pajak (STP).

 

5.   Apa saja yang dapat ditagih dengan STP PBB?

Pokok pajak terutang yang belum atau kurang dibayar dan atau denda administrasi.  STP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh Wajib Pajak.

 

6.   Dalam hal bagaimana  STP PBB diterbitkan ?

·         Wajib pajak tidak melunasi PBB terutang setelah lewat jatuh tempo pembayaran SPPT/SKP.

·         Wajib pajak melunasi PBB terutang setelah lewat jatuh tempo pembayaran SPPT/SKP, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.

 

7.     Apakah upaya yang dapat dilakukan apabila STP PBB telah lewat jatuh tempo dan tidak dilunasi ?

Apabila STP PBB tidak dibayar setelah lewat jatuh tempo ditagih dengan Surat Paksa (SP) berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa s.t.d.d. UU Nomor 19 Tahun 2000.

 

H.   KEBERATAN DAN BANDING (250304 )

 

1.   Apa saja yang dapat diajukan permohonan keberatan PBB ?

Yang dapat diajukan keberatan PBB adalah besarnya PBB terutang sebagaimana tercantum dalam SPPT atau SKP.

Keberatan dimaksud dapat dikarenakan :

·         Kesalahan luas bumi dan atau bangunan;

·         Kesalahan klasifikasi bumi dan atau bangunan;

·         Kesalahan penetapan/pengenaan;

·         Terdapat perbedaan penafsiran peraturan perundang-undangan PBB antara Wajib Pajak dan fiskus;

·         Kesalahan Penetapan Subjek Pajak.

Keberatan atas SPPT atau SKP harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.

 

 

 

2.   Bagaimana tata cara permohonan keberatan PBB ?

  • Membuat permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala KPPBB disertai dengan alasan yang jelas.
  • Menyampaikan permohonan secara lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SPPT atau SKP, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
  • Diajukan per Objek PBB dan per tahun pajak.
  • Melampirkan foto kopi sebagai berikut :

o        Bukti pemilikan hak atas tanah/sertifikat; dan/atau

o        Bukti Surat Ukur/Rincik; dan/atau

o        Akta Jual Beli; dan/atau

o        SPPT/SKP; dan/atau

o        Izin Mendirikan Bangunan (IMB); dan/atau

o        Bukti pendukung (resmi) lainnya.

Ø       Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.

Ø       Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan PBB.

Ø       Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar PBB dan pelaksanaan penagihan.

 

3.   Berapa lama jangka waktu penyelesaian permohonan keberatan PBB ?

      Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Permohonan Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

 

4.   Apa yang dapat disampaikan oleh Wajib Pajak sebelum keputusan keberatan diterbitkan ?

      Sebelum surat keputusan keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.

 

5.   Apa bentuk keputusan keberatan  ?

      Keputusan Keberatan dapat berupa :

  • menerima seluruhnya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan terbukti kebenarannya.
  • menerima sebagian, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan sebagian terbukti kebenarannya.
  • menolak, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan tidak terbukti kebenarannya.
  • menambah jumlah pajaknya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan, mengakibatkan peningkatan jumlah PBB-nya.

 

6.   Apa yang dapat dilakukan Wajib Pajak jika permohonan keberatannya ditolak ?

Wajib pajak yang keberatannya ditolak dapat mengajukan banding ke Badan Pengadilan Pajak (BPP).

Ketentuan banding PBB mengikuti ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP stdtd UU Nomor 16 Tahun 2000.

 

7.   Apa bentuk putusan Banding ?

Putusan Banding dapat berupa :

-          menolak;

-          mengabulkan sebagian atau seluruhnya;

-          menambah pajak yang harus dibayar;

-          tidak dapat diterima;

 

8.   Bagaimana sifat Putusan Banding ?

Putusan Banding oleh BPP bukan merupakan putusan final dan dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

 

9.   Bagaimana jika Putusan Banding menerima sebagian atau seluruhnya ?

 

Apabila putusan banding menerima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran PBB sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.

 

I.    PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PBB (250304 )

 

1. Bagaimana pengelolaan hasil penerimaan PBB ?

 

Hasil penerimaan PBB dibagi dengan perimbangan sebagai berikut :

·      10 % (duapuluh persen) untuk pemerintah pusat (6,5% dikembalikan lagi secara merata ke setiap kabupaten/kota dan 3,5% diberikan kepada kabupaten/kota yang mencapai target penerimaan sektor pedesaan dan perkotaan);

·      16,2 % (enambelas koma dua persen) untuk propinsi;

·      64,8 % (enampuluh empat koma delapan persen) untuk kabupaten/kota.

·      9 % (sembilan persen) untuk biaya pungut (diberikan kepada kabupaten/kota, propinsi, dan Ditjen Pajak)

 

J. PENGURANGAN (250304 )

 

1.  Kepada siapa pengurangan PBB dapat diberikan ?

Pengurangan PBB yaitu pemberian keringanan pembayaran PBB yang terutang atas Objek PBB dapat diberikan kepada :

·         Wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu Objek PBB yang ada hubungannya dengan Subjek PBB dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, yaitu :

o        lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki/dikuasai atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi;

o        Objek PBB yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat disebabkan karena adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan;

o        Objek PBB yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiun, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;

o        Objek PBB yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;

o        Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan;

Pemberian pengurangan dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dan ditetapkan berdasarkan kondisi/penghasilan Wajib Pajak.

 

·         Wajib Pajak Orang Pribadi dalam hal objek PBB terkena bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan sebagainya serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit, dan hama tanaman.

Untuk kondisi Wajib Pajak ini dapat diberikan pengurangan sampai dengan 100% (seratus persen).

·         Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk janda/dudanya. 

Pemberian pengurangan ditetapkan 75% (tujuh puluh lima persen), akan tetapi bagi janda/dudanya telah menikah lagi diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dan ditetapkan berdasarkan kondisi/penghasilan Wajib Pajak.

 

2.  Bagaimana tata cara pengajuan permohonan pengurangan   PBB ?

  • Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala KPPBB yang menerbitkan SPPT/SKP dengan menyebutkan persentase pengurangan yang diminta.
  • Pengajuan permohonan dilakukan dengan ketentuan :

o        Untuk ketetapan PBB s/d Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) dapat diajukan secara perseorangan atau kolektif (melalui Kepala Desa/Lurah dan diketahui oleh Camat).

o        Untuk ketetapan PBB di atas Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) harus diajukan oleh WP yang bersangkutan dengan melampirkan :

1). fotokopi SPPT/SKP PBB Tahun Pajak yang dimohonkan;

2). fotokopi STTS tahun pajak terakhir;

3). fotokopi KTP/SIM/Tanda Pengenal Diri lainnya.

o        Untuk WP Badan, melampirkan fotokopi :

1). SPPT/SKP PBB tahun yang dimohonkan;

2). fotokopi STTS tahun pajak terakhir;

3). SPT PPh tahun terakhir;

4). Laporan Keuangan Perusahaan.

o        Untuk Objek Pajak yang terkena bencana alam, hama tanaman dan sebab lain yang luar biasa dan bersifat massal diajukan oleh Kepala Desa/Lurah dengan diketahui oleh Camat dengan mencantumkan nama-nama Wajib Pajak yang dimohonkan pengurangannya dengan mempergunakan formulir yang telah ditentukan.

·         Permohonan diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung sejak SPPT/SKP diterima Wajib Pajak atau terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.

·         Pengurangan atas SKP hanya dapat diberikan atas pokok ketetapan PBB terutang;

·         Apabila batas waktu pengajuan tersebut tidak dipenuhi, maka permohonannya tidak diproses, dan Kepala KPPBB yang bersangkutan harus memberitahukan secara tertulis kepada WP/Kepala Desa/Lurah, disertai penjelasan seperlunya.

 

3.  Apa kriteria pengajuan permohonan pengurangan PBB ?

·         Pengurangan PBB untuk masing-masing kabupaten/kota hanya diberikan untuk 1 (satu) objek PBB yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan Wajib Pajak;

·         Dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari 1 (satu) objek PBB maka objek yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah objek PBB yang menjadi tempat domisili Wajib Pajak;

·         Dalam hal Wajib Pajak yang memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari 1 (satu) objek PBB adalah Wajib Pajak Badan, maka objek yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah salah satu objek pajak yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan Wajib Pajak.

 

K. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PBB  (250304 )

 

1.  Dalam hal apa terjadi kelebihan pembayaran PBB ?

Kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terjadi dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) lebih besar dari jumlah PBB yang seharusnya terutang.

 

2.  Apakah penyebab terjadinya kelebihan pembayaran PBB ?

·         Perubahahan peraturan;

·         Surat Keputusan Pemberian Pengurangan;

·         Surat Keputusan Penyelesaian Keberatan;

·         Putusan Banding;

·         Kekeliruan pembayaran.

 

3.  Bagaimanakah perlakuan atas kelebihan pembayaran PBB ?

Kelebihan Pembayaran PBB dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak (restitusi), diperhitungkan dengan utang pajak lainnya, atau disumbangkan kepada Negara.

 

 

 

 

4.   Bagaimana tata cata pengajuan permohonan atas kelebihan pembayaran    PBB ?

·         WP mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyebutkan jumlah kelebihan pembayaran disertai alasan yang jelas kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala KPPBB yang menerbitkan SPPT/SKP/STP.

·         Surat permohonan disampaikan langsung atau dikirim melalui pos tercatat;

·         Surat permohonan dilampiri dengan dokumen yang berkaitan dengan Objek Pajak yang dimohonkan berupa:

-          fotokopi SPPT/SKP/STP dan Surat Keputusan Keberatan/Banding dan/atau Surat Keputusan pemberian pengurangan;

-          Asli Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB.

 

5.   Dalam jangka waktu maksimal berapa lama KPPBB harus memberikan jawaban atas surat permohonan dari Wajib    Pajak ?

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap dari Wajib Pajak. Apabila dalam jangka waktu tersebut surat keputusan tidak diterbitkan maka permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.

 

6.   Apakah bentuk Surat Keputusan yang dapat diterbitkan atas pengembalian kelebihan pembayaran PBB ?

Kepala KPPBB atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan :

·Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak PBB (SKKPP PBB), apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang;

·Surat Pemberitaan (SPb), apabila jumlah PBB yang dibayar sama dengan jumlah PBB yang seharusnya terutang;

·Surat Ketetapan Pajak (SKP), apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata kurang dari jumlah PBB yang seharusnya terutang.

 

7.   Dalam jangka waktu maksimal berapa lama Kepala KPPBB harus menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak PBB (SPMKPPBB)?

Kepala KPPBB harus menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak PBB (SPMKPPBB) dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKKPPPBB. Dalam hal KPPBB terlambat menerbitkan SPMKPPBB, maka WP diberikan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan sampai dengan diterbitkannya SPMKPPBB.

 

L. LAIN-LAIN (250304 )

 

1.   Siapakah yang dimaksud Pejabat yang berkaitan dengan Objek PBB ?

Pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan objek PBB adalah : Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

     

2.   Apa kewajiban Pejabat ?

Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan objek pajak, wajib :

·         menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan objek PBB secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek PBB;

·         memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak.

 

3.   Selain Pejabat dimaksud siapakah yang mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan yang ada hubungannya dengan  objek PBB ?

      Pejabat lain yang ada hubungannya dengan objek PBB yang mempunyai kewajiban memberikan keterangan adalah Lurah atau Kepala Desa, Pejabat Dinas Tata Kota, Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan, Pejabat Agraria, Pejabat Balai Harta Peninggalan..

 

4.   Bagaimana seandainya pejabat dimaksud terikat dengan rahasia jabatan yang harus dipegang sehubungan dengan penyampaian keterangan yang ada hubungannya dengan  objek PBB ?

      Dalam hal pejabat dimaksud terikat oleh kewajiban untuk memegang rahasia jabatan, kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan sepanjang menyangkut pelaksanaan Undang-undang PBB.

 

5.   Apa sanksi bagi Pejabat yang tidak menyampaikan laporan ?

Pejabat yang tidak memenuhi kewajiban dapat dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain : Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Staatsblad Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris.

 

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

 

A.   SUBJEK PAJAK (250304 )

 

1.   Siapa Subjek BPHTB ?

 

Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.

 

B.   OBJEK PAJAK (250304 )

                                                           

1.   Apa yang menjadi objek BPHTB ?

Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi:

a.    Pemindahan hak karena:

jual beli;

tukar-menukar;

hibah;

hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia;

waris;

pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan  dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut;

pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama;

penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang;

pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi  atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut;

penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung;

peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut;

pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama;

hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.

 

b.   Pemberian hak baru karena:

1.    kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak;

2.    di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

o        Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

o        Objek pajak yang diperoleh karena waris dan hibah wasiat pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 111 Tahun 2000;

o        Objek pajak yang diperoleh karena pemberian hak pengelolaan pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dengan PP Nomor 112 Tahun 2000;

 

2.   Apa saja yang termasuk hak atas tanah ?

Hak atas tanah meliputi :

a.    hak milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;

b.   hak guna usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;

c.   hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

d.   hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e.    hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

f.    hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

 

3.   Objek pajak apa saja yang tidak dikenakan BPHTB ?

·         objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

·         objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

·         objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;

·         objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

·         objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf;

·         objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

 

o     Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk  penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.

o     Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah.

o     Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.

 

 

C.   TARIF PAJAK (250304 )

 

1.     Berapa besarnya tarif BPHTB ?

Tarif BPHTB adalah 5% (lima persen).

 

D.   DASAR PENGENAAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK (250304 )

 

1.     Apakah dasar pengenaan BPHTB ?

Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu

a.  jual beli adalah harga transaksi;

b.    tukar-menukar adalah nilai pasar;

c.    hibah adalah nilai pasar;

d.    hibah wasiat adalah nilai pasar;

e.    waris adalah nilai pasar;

f.     pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;

g.    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;

h.    peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;

i.      pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;

j.      pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;

k.    penggabungan usaha adalah nilai pasar;

l.      peleburan usaha adalah nilai pasar;

m.  pemekaran usaha adalah nilai pasar;

n.    hadiah adalah nilai pasar;

o.    penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.

Dalam hal NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah NJOP PBB.

 

o     Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

o     Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

 

2.   Apa yang boleh dikurangkan dalam penghitungan BPHTB ?

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP diberikan untuk setiap perolehan hak sebagai pengurang penghitungan BPHTB terutang.

 

3.   Berapa besarnya NPOPTKP ?

NPOPTKP ditetapkan secara regional (setiap kabupaten/kota) paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP regional paling banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

o        Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan mempertimbangkan pendapat Pemda setempat.

 

o        Ketentuan besarnya NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 113 Tahun 2000.

 

4.   Bagaimana cara menghitung BPHTB terutang ?

·         BPHTB terutang = 5 % x NPOP Kena Pajak;

·         NPOP Kena Pajak = NPOP – NPOPTKP.

 

E.   SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG (250304 )

 

1.   Kapan saat BPHTB terutang dan harus dilunasi ?

Saat terutang dan pelunasan BPHTB untuk:

a.       jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanginya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris;

b.       tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

c.       hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

d.       waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;

e.       pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

f.        pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

g.       lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.

h.       putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

i.         hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;

j.         pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

k.       pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

l.         penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;

m.     peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;

n.       pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;

o.       hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

 

2.   Dimana tempat BPHTB terutang?

      Tempat BPHTB terutang adalah wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.

 

 

 

F.   PEMBAYARAN, PENETAPAN, DAN PENAGIHAN (250304 )

 

1.     Sistem apakah yang dipakai sebagai dasar pemungutan BPHTB ?

Sistem self assessment, dimana Wajib Pajak membayar BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.

 

2.     Bagaimana cara membayar BPHTB ?

BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB).

 

3.   Dalam waktu berapa lama SKBKB dapat diterbitkan ?

      Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah BPHTB yang terutang kurang dibayar.

 

4.     Berapa besarnya BPHTB terutang dalam SKBKB ?

      BPHTB terutang dalam SKBKB adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya BPHTB sampai dengan diterbitkannya SKBKB dimaksud.

 

5.   Dalam waktu berapa lama SKBKBT dapat diterbitkan ?

      Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah BPHTB yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB.

 

6.     Berapa besarnya BPHTB terutang dalam SKBKBT ?

      BPHTB terutang dalam SKBKBT adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

 

7.   Bilamana STB diterbitkan ?

Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB) diterbitkan apabila :

a.  BPHTB yang terutang tidak atau kurang dibayar;

b.  dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran BPHTB sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;

c.  Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.

 

8.   Berapa besarnya BPHTB terutang dalam STB ?

BPHTB terutang dalam STB akibat tidak atau kurang dibayar dan akibat salah tulis dan atau hitung adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya BPHTB.

 

9.   Bagaimana kedudukan STB dalam proses penagihan BPHTB ?

 

STB mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa.

 

10.  Apakah dasar penagihan BPHTB ?

·         Dasar penagihan BPHTB adalah SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah.

·         Tata cara penagihan BPHTB diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.

 

11.  Berapa lama jangka waktu pelunasan  SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah?

·         BPHTB terutang dalam SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak;

·         Apabila sampai dengan jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud tidak atau kurang dibayar, dapat ditagih dengan Surat Paksa, yaitu surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mempunyai kekuatan sama dengan putusan pengadilan (parate executie).

 

G.   KEBERATAN, BANDING, DAN PENGURANGAN (250304 )

 

1.   Apa saja yang dapat diajukan permohonan keberatan BPHTB ?

Yang dapat diajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak adalah :

a.  SKBKB, yaitu surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah BPHTB terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;

b.  SKBKBT, yaitu surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah BPHTB yang telah ditetapkan;

c.  SKBLB, yaitu surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran BPHTB karena jumlah BPHTB yang telah dibayar lebih besar daripada BPHTB yang seharusnya terutang;

d.  SKBN, yaitu surat ketetapan yang menentukan jumlah BPHTB yang terutang sama besarnya dengan jumlah BPHTB yang dibayar..

 

2.   Bagaimana tata cara permohonan keberatan BPHTB ?

·         Membuat permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala KPPBB dengan mengemukakan jumlah BPHTB yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang jelas, yaitu didukung dengan data atau bukti bahwa jumlah BPHTB yang terutang atau lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar;

  • Menyampaikan permohonan secara lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SKBKB, SKBKBT, SKBLB, atau SKBN; kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
  • Melampirkan foto kopi sebagai berikut :

o        Fotocopy SSB

o        Asli SKBKB/SKBKBT/SKBLB/SKBN

o        Fotocopy Akta/Risalah Lelang/Surat Keputusan Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim

o        Fotocopy KTP/ Paspor / KK /identitas lain

Ø       Permohonan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan;

Ø       Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.

Ø       Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan BPHTB.

Ø       Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar BPHTB dan pelaksanaan penagihan.

 

3.   Berapa lama jangka waktu penyelesaian permohonan keberatan BPHTB ?

 

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Permohonan Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

 

4.   Apa yang dapat disampaikan oleh Wajib Pajak sebelum keputusan keberatan BPHTB diterbitkan ?

      Sebelum surat keputusan keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.

 

5.   Apa bentuk keputusan keberatan  ?

      Keputusan Keberatan dapat berupa :

  • menerima seluruhnya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan terbukti kebenarannya.
  • menerima sebagian, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan sebagian terbukti kebenarannya.
  • menolak, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan tidak terbukti kebenarannya.
  • menambah jumlah pajaknya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan, mengakibatkan peningkatan jumlah BPHTB-nya.

 

6.   Apa yang dapat dilakukan Wajib Pajak jika permohonan keberatannya ditolak ?

·         Wajib Pajak yang keberatannya ditolak dapat mengajukan banding ke Badan Pengadilan Pajak (BPP).

·         Permohonan dimaksud diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

 

7.   Apa bentuk putusan Banding ?

Putusan Banding dapat berupa :

-          menolak;

-          mengabulkan sebagian atau seluruhnya;

-          menambah pajak yang harus dibayar;

-          tidak dapat diterima;

 

8.   Bagaimana sifat Putusan Banding ?

Putusan Banding oleh BPP bukan merupakan putusan final dan dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

 

9.   Bagaimana jika Putusan Banding menerima sebagian atau seluruhnya ?

Apabila putusan banding menerima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran BPHTB sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.

 

10.  Kepada siapa pengurangan BPHTB dapat diberikan ?

      Pengurangan BPHTB dapat diberikan Wajib Pajak melalui permohonan karena:

a.  kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek BPHTB, atau

b.  kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, atau

c.  tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan.

 

H.   PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN (250304 )

 

1.  Dalam hal apa terjadi kelebihan pembayaran BPHTB ?

Kelebihan pembayaran BPHTB terjadi dalam hal :

a.  BPHTB yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang;

b.  BPHTB yang dibayar tidak seharusnya terutang;

c.  permohonan pengurangan dikabulkan;

d.  pengajuan keberatan atas ketetapan BPHTB dikabulkan seluruhnya atau sebagian;

e.  permohonan banding terhadap keputusan keberatan dikabulkan seluruhnya atau sebagian;

f.   perubahan peraturan.

 

 

2.  Bagaimanakah perlakuan atas kelebihan pembayaran BPHTB ?

Kelebihan Pembayaran PBB dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak (restitusi), diperhitungkan dengan utang pajak lainnya, atau disumbangkan kepada Negara.

 

3.   Dalam jangka waktu maksimal berapa lama KPPBB harus memberikan jawaban atas surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dimaksud ?

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap dari Wajib Pajak. Apabila dalam jangka waktu tersebut surat keputusan tidak diterbitkan maka permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan serta Kepala KPPBB harus menerbitkan SKBLB dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.

 

4.   Apakah bentuk Surat Keputusan yang dapat diterbitkan atas pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB  ?

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan (sederhana dan lapangan) menerbitkan:

·         SKBLB, apabila jumlah BPHTB yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah BPHTB yang terutang atau dilakukan pembayaran BPHTB yang tidak seharusnya terutang;

·         SKBN, apabila jumlah BPHTB yang dibayar sama dengan jumlah BPHTB yang terutang;

·         SKBKB, apabila jumlah BPHTB yang dibayar ternyata kurang dari jumlah BPHTB yang seharusnya terutang.

 

5.   Kapan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dilakukan ?

Pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKBLB, yaitu dengan diterbitkannya Surat Perintah Membayar Kelebihan BPHTB (SPMKB) oleh Kepala KPPBB. Dalam hal Kepala KPPBB terlambat menerbitkan SPMKB, maka Wajib Pajak diberikan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan sampai dengan diterbitkannya SPMKB dimaksud.

.

I.    PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN BPHTB (250304 )

 

1. Bagaimana pengelolaan hasil penerimaan BPHTB ?

Hasil penerimaan BPHTB dibagi dengan perimbangan sebagai berikut :

-          20 % (duapuluh persen) untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dikembalikan lagi secara merata ke setiap kabupaten/kota

-       16 % (enambelas persen) untuk propinsi;

-       64 % (enampuluh empat persen) untuk kabupaten/kota.

 

J.   KETENTUAN  BAGI PEJABAT (250304 )

 

1.   Kapan Pejabat dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan, menandatangani risalah lelang, menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah (SKPH), mendaftar peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat ?

·         Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB.

·         Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB.

·         Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan SKPH hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB.

·         Pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB.

 

2.   Apa sanksi bagi PPAT/Notaris  atau Pejabat Lelang Negara yang menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan/risalah lelang tanpa adanya bukti pembayaran berupa SSB ?

Dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.

 

3.   Apa kewajiban PPAT/Notaris  atau Pejabat Lelang Negara ?

Melaporkan pembuatan akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak (KPPBB setempat) selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.

 

4.   Apa sanksi bagi PPAT/Notaris yang tidak melaporkan pembuatan akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ke KPPBB ?

Dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.

 

5.   Apa sanksi bagi Pejabat Pertanahan yang menandatangani dan menerbitkan SKPH atau mendaftar peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat tanpa adanya bukti pembayaran berupa SSB ?

Dikenakan sanksi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

 

4.   Apa sanksi bagi Kepala Kantor Lelang Negara  yang tidak melaporkan pembuatan risalah lelang ke KPPBB ?

Dikenakan sanksi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.


Klik untuk melihat lengkap artikel...